KONSEKUENSI HUKUM JIKA MEDIASI TANPA KEHADIRAN PARA PIHAK

 

Dalam upaya hukum guna mencari keadilan berdasarkan pada asas kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan hukum kerap kali para pihak yang bersengketa harus menempuh upaya mediasi khususnya dalam ranah keperdataan, menurut Pasal 1 angka (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2016 (“Perma 1/2016) tentang Prosedur mediasi di pengadilan memberikan pengertian bahwa “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator”.

 

Pada tahap ini para pihak dihadapkan secara langsung berikut terhadap pihak yang bersengketa langsung ataupun melalui kuasa hukumnya dihadapan mediator yang ditunjuk berdasarkan pada kesepakatan para pihak secara tertutup dengan persetujuan dari Yang Mulia Majelis Hakim. Adapun Mediator sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1 angka (2) bisa dari golongan hakim dengan kompetensi khusus sebagai Mediator ataupun pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator. Sehingga prosesi Mediasi merupakan rangkaian yang sangat sakral dan wajib dilakukan sebelum pemeriksaan pada pokok perkara perdata untuk para pihak yang berperkara guna mencari solusi alternatif untuk mencapai suatu kesepakatan perdamaian berdasar para prinsip win win solution.

 

Perma 1/2016 membagi ke dalam beberapa klasifikasi terhadap perkara apa yang wajib menempuh upaya mediasi terhadap dahulu sebelum lanjut ke tahap pokok perkara. Hal ini diatur dan termuat pada Pasal 4 angka (1) dan (2) Perma 1/2016, yang berbunyi:

Pasal 4

(1)    Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara perlawanan (Verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzed) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahuku diupayakan penyelesaian melalui Mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Peraturan Mahakamah Agung ini.

(2)    Sengketa yang dikecualikan dari kewajiban penyelesaian melalui Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.       Sengketa yang pemeriksaaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya meliputi antara lain:

1.       Sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga.

2.       Sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Hubungan Industrial.

3.       Keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

4.       Keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

5.       Permohonan pembatalan putusan arbitrase.

6.       Keberatan atas putusan Komisi Informasi.

7.       Penyelesaian perselisihan partai politik.

8.       Sengketa yang diselesaikan melalui tata cara gugatan sederhana.

9.       Sengketa lain yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang. waktu penyelesaiannya dalam ketentuan peraturan perundang-undang.

b.       Sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat yang telah dipanggil secara patut.

c.       Gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara (intervensi)

d.      Sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan perkawainan.

e.       Sengketa yang diajukan ke Pengadilan setelah di upayakan penyelesaian diluar Pengadilan melalui Mediasi dengan bantuan Mediator bersertifikat yang terdaftar di Pengadilan Setempat tetapi dinyatakan tidak berhasil berdasarkan pernyataan yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator bersertifikat.

 

Lantas bagaimana jika mediasi tidak dihadiri oleh para pihak yang berperkara?

 

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, sekiranya pelu diketahui akan siapa yang dimaksud dengan “para pihak” merujuk pada peraturan perundang-undangan yang terkait. Apabila berdasarkan pada Pasal 1 angka (5) Perma 1/2016 mendefinisikan bahwa “Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke Pengadilan untuk memperoleh penyelesaian”. Sehingga dengan ini para pihak dapat dipertemukan di hadapan Mediator untuk melakukan suatu diskusi teknikal guna mencari jalan terbaik agar terciptanya  kesepakatan perdamaian terhadap para pihak yang bersengketa, hal ini pun merupakan implementasi prinsip Ultimum remedium dalam penyelesaian perkara keperdataan. Dimana prinsip ini menekankan bahwa sebelum adanya upaya tindak lanjut di persidanagan upaya lain harus di tempuh terlebih dahulu guna mencari jalan perdamaian.

 

Sehingga terhadap hal tersebut menimbulkan suatu konsekuensi terhadap para pihak diharuskan untuk menghadiri Mediasi di Pengadilan secara langsung, sebagaimana hal tersebut merupakan amanat daripada Perma 1/2016 yang termuat pada Pasal 6 ayat (1), yakni “Para pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh Kuasa Hukum”.  Apabila dilihat dari substansi Pasal 6 angka (1), dapat diketahui bahwa kuasa yang diberikan kepada Kuasa Hukum selaku penerima Kuasa terhadap Pemberi Kuasa terbatas dalam peran serta kuasa nya dalam prosesi Mediasi.

 

Jika dikaitan terhadap kewajiaban daripada Kuasa Hukum itu sendiri khususnya dalam prosesi Mediasi, hal ini diatur dalam Pasal 18 angka (2) Perma 1/2016, yang menerangkan bahwa:

PASAL 18

(2)    Kewajiban Kuasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diantaranya meliputi:

a.       Menyampaikan penjelasan Hakim Pemeriksa Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (7) kepada Para Pihak.

b.       Mendorong Para Pihak berperan langsung secara aktif dalam proses Mediasi.

c.       Membantu Para pIhak mengidentifikasi kebutuhan, kepentingan dan usulan penyelesaian sengketa selama proses Mediasi.

d.       Membantu Para Pihak merumuskan rencana dan usulan Kesepakatan Perdamaian dalam hal Para Pihak mencapai kesepakatan.

e.       Menjelaskan kepada Para Pihak terkait kewajiban Kuasa Hukum.

Apabila kita cermati terhadap Pasal 18 angka (2) huruf b yang menjadi peran serta kewajiban Kuasa Hukum dalam prosesi Mediasi antara Para Pihak di hadapan Mediator, hal ini pun terhadap Para Pihak yang berperkara diwajibkan untuk melakukan prosesi Mediasi secara langsung di hadapan Mediator tanpa diwakili oleh Kuasa Hukumnya guna mencapai kesepakatan perdamaian yang konkrit dari Para Pihak.  Adapun ketika Para Pihak yang berperkara tidak menghadiri secara langsung prosesi Mediasi, maka konsekuensi daripada hal tersebut salah satu pihak dapat dikatakan tidak memiliki suatu itikad baik sebagaimana ketentuan pada Pasal 7 Perma 1/2016.

 

            Selain daripada salah satu pihak dianggap tidak memiliki suatu itikad yang baik, hal ini pun dapat menjadi suatu konsekuensi hukum terhadap gugatan yang diajukan oleh Para Pihak. Berkaca dari hal tersebut dalam perkara Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan Nomor Registrasi Perkara 316/Pdt.G/2024/PM. Jkt.Tim yang diajukan oleh Edwin Soeryadjaya, Dkk terhadap PT. Waskita Karya (Persero) Tbk, Kedutaan Besar India dan PT. BITA Enarcon Engineering, yang dalam amar putusan sela nya dinyatakan Edwin Soeryadjaya, Dkk terbukti beritikad tidak baik dalam proses Mediasi karena sudah 3 (tiga) kali mangkir untuk hadir secara langsung dalam proses Mediasi tersebut dan ketidakhadiran tersebut tanpa disertai alasan yang jelas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (4) Perma 1/2016, sehingga Gugatan terseut tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard) dan Edwin Soeryadjaya, Dkk dihukum untuk membayar biaya perkara.

 

KESIMPULAN.

Pada proses Mediasi Para Pihak harus menghadiri setiap prosesi Mediasi secara langsung di hadapan Mediator guna mencakap suatu kesepakatan perdamaian di antara Para Pihak. Jika salah satu pihak tidak dapat menghadiri proses Mediasi secara langsung di hadapan Mediator, maka berimplikasi terhadap adanya suatu itikad tidak baik. Akan tetapi Perma 1/2016 memberikan suatu keringanan, sebagaimana Para Pihak dalam hal ini dapat dikatakan memiliki suatu itikad baik tanpa menghadiri langsung prosesi Mediasi sepanjang hal-hal ataupun alasan tersebut dipandang suatu alasan yang sah sebagaimana termuat dalam Pasal 6 angka (4) Perma 1/2016 dengan melampirkan Surat Kuasa Khusus atas ketikdahadirannya kepada Kuasa Hukumnya guna mewakili Para Pihak untuk mengambil suatu keputusan yang mana hal ini pun sesuai dengan amanat Pasal 18 angka 3 (tiga) dan 4 (empat) Perma 1/2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjanjian terjalin hanya secara lisan, apakah sah dimata hukum?

KONSEKUENSI HUKUM ATAS MENINGGALNYA TERDAKWA TERHADAP GANTI KERUGIAN KEUANGAN NEGARA YANG DISEBABKAN OLEH TINDAK PIDANA KORUPSI

Prejudicial Greschill