AKTA SURAT KUASA MENJUAL DALAM PERJANJIAN HUTANG PIUTANG
Dalam
perbuatan hukum hutang piutang atau yang biasa dikenal dalam dunia hukum
sebagai perjanjian kredit, yang dimana perbuatan hukum ini sering terjadi
antara lembaga perbankan atau pembiayaan terhadap perorangan atau badan hukum
serta terhadap orang perorangan itu sendiri yang melibatkan 2 (dua) pihak,
yaitu pihak pemberi pinjaman (Kreditur) dan pihak yang menerima pinjaman
(Debitur). Berdasar pada Pasal 1 angka (11) Undang-Undang Nomor 10 tahun
1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomo 7 tahun 1992 tentang Perbankan,
memberikan pengertian tentang kredit yakni:
Kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak Peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Berdasarkan pada praktiknya,
perjanjuan hutang piutang atau kredit kerapkali terjadi di kalangan masyarakat
umum yang khususnya diatara perorangan guna mendapatkan pinjaman secara cepat
dan mudah. Sehingga dalam perjanjian hutang piutang atau kredit tidak hanya
adanya suatu perbuatan hukum berdasarkan pada kesepakatan, melainkan juga
terhadap rasa kepercayaan antara kreditur dengan debitur. Dalam praktiknya ada
dua bentuk perjanjian hutang piutang atau kredit, yakni:
1.
Perjanjian hutang piutang atau
kredit yang dibuat dibawah tangan
Akta
dibawah tangan merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak tanpa
adanya atau tidak dihadapan pejabat yang berwenang. Sehingga perjanjian
sebagaimana dimaksud tidak memiliki suatu kekuatan pembuktian sebagai akta
otentik. Hal ini termuat dalam Pasal 1869 KUHPerdata yang menerangkan :
“Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai
akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang
bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai
tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak”.
2.
Perjanjian hutang piutang atau
kredit yang dibuat dihadapan pejabat berwenang
Berdasar
pada hukum pembuktian, akta otentik merupakan suatu akta yang dibuat dihadapan
pejabat berwenang, hal ini sebagaimana termuat dalam Pasal 1868 KUHPerdata
yakni:
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat
dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang oleh atau dihadapan pejabat
umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.
Untuk
itu pejabat berwenang yang dimaksud merupakan pejabat Notaris, sebagaimana
termuat dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
yakni:
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini atau Undang-Undang lainnya”.
Dalam
hal ini apabila merujuk terhadap syarat sah yang suatu perjanjian ini
sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, hal yang sifatnya dibuat
dibawah tangan tidak dapat membatalkan adanya suatu perjanjian. Akan tetapi
terhadap hal tersebut berimplikasi pada saat hukum pembuktian di pengadilan,
dimana apabila disandingkan antara akta otentik dengan akta dibawah tangan
mempunyai nilai pembuktian yang berbeda-beda.
In
casu terhadap perjanjian hutang piutang atau kredit itu
sendiri dibebankan terhadap debitor berupa suatu jaminan, dimana fungsi utama
jaminan ini adalah untuk membuat suatu kepercayaan akan kemampuan debitor kepada
kreditor atas pemberian hutang piutang atau kredit. Secara yuridis fungsi
daripada jaminan itu sendiri adalah sebagai kepastian hukum atas pelunasan
hutang piutang di dalam perjanjian hutang piutang atau kredit. Secara bentuknya
jaminan ini dibagi menjadi 2 (dua) yakni jaminan perorangan (Personal guaranty)
dan jaminan kebendaan. Akan hal tersebut apabila jaminan berupa tanah secara
formal harus di bebankan dengan Hak Tanggungan, sehingga memuat suatu kepastian
hukum sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun
1996 tentang Hak Tanggungan (”UU HT”) memuat pengertian bahwa, “Hak Tanggungan
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya
disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Agraria berikut tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditor-kreditor
lain “.
Hak
Tanggungan itu sendiri memiliki sifat accessoir sebagaimana termuat
dalam Pasal 10 ayat (1) UU HT, yakni “Pemberian Hak Tanggungan didahului
dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang
tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari
perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang
menimbulkan utang tersebut”. Sehingga dalam hal ini menimbulkan konsekuensi
terhadap sifat eksekutorial hak tanggungan sebagaimana termuat dalam Pasal 20
UU HT dan Pasal 6 UU HT dengan tetap memperhatikan prinsip dasar Pasal 1802
KUHPerdata.
Lantas
bagaimana kedudukan akta surat kuasa menjual dalam perjanjian hutang piutang dengan
membebankan jaminan atas hak tanah?
Bedasarkan
pada uraian diatas ada beberapa fakta yang dapat kita tarik mengenai suatu
jaminan atas hak tanah dalam perjanjian hutang piutang atau kredit. Dalam hal
ini terhadap apa yang menjadi suatu objek hak jaminan khususnya terhadap hak
atas tanah agar dapat dibebankan Hak Tanggungan harus dilakukan penerbitan atas
Akta Pemberian Hak Tanggungan di hadapan Pejabat PPAT yang kemudian didaftarkan
di Kantor Pertanahan, dengan berpegah teguh pada prinsip Pasal 1178 KUHPerdata.
Untuk itu atas Surat Kuasa yang dibebankan Hak Tanggungan harus merupakan akta
otentik yang di buat dengan akta Notaris atau Akta PPAT sebagaimana termuat
pada Pasal 15 UU HT. Hal ini sebagaimana dalam Pasal 29 UU HT yang menerangkan
bahwa, “Dengan berlakunya undang-undang ini, ketentuan mengenai
Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatblad 1908-542 jo. Staatblad
1909-586 dan Staatblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatblad
1937-190 jo. Staatblad 1937-191 dan Ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana
tersebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang
mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Sehingga
objek atas jaminan yang termuat dalam perjanjian hutang piutang atau kredit tanpa
diterbitkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang didaftarkan ke Kantor
Pertanahan, maka tidak ada jaminan yang dapat membantu pelunasan piutang
kreditur ketika debitur gagal bayar dan tidak ada pula kemudahan eksekusi objek
jaminan untuk pelunasan bagi kreditur.
Kesimpulan:
Bahwa
berdasarkan pada uraian diatas, terhadap akta surat kuasa yang dibebankan untuk
menjual daripada objek jaminan atas perjanjian hutang piutang atau kredit tidak
memiliki kekuatan hukum eksekutorial. Adapun jika dilakukan dengan penjualan
dibawah tangan tanpa mekanisme lelang harus berlandaskan pada Pasal 1802
KUHPerdata, akan tetapi terhadap apa yang menjadi suatu perbuatan hukum
tersebut tidak memiliki kepastian serta kekuatan hukum yang mengikat.
Komentar
Posting Komentar