Prejudicial Greschill
Prejudicial Greschill menurut kamus Fokema Andrea (1983:40) adalah masalah (biasanya perdata) yang harus dipecahkan terlebih dahulu sebelum dapat dimuali mengadili pokok perkara. Hal ini pun termuat dalam ketentuan Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 1956 yang menentukan bahwa “Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu”.
Lahirnya PERMA Nomor 1 tahun 1956 pada 23 Mei 1956 merupakan suatu upaya Mahkamah Agung terhadap adanya kekosongan hukum perihal Prejudicial Greshcill yang pada waktu itu belum terakomodir dalam hukum acara pidana. Hal tersebut termuat dalam konsideran PERMA 1 tahun 1956 yang menyebutkan “Menimbang bahwa oleh karena dalam peraturan Acara Pengadilan yang sekarang berlaku di Indonesia, tiada peraturan mengenai hubungan antara Pengadilan Perdata dan Pengadilan Pidana, dalam hal ini ada nampak keragu-raguan”. Hal tersebut merupakan suatu antensi penting dalam praktik peradilan guna menghindari adanya praktik penyalahgunaan hukum terlebih lagi belum adanya suatu kepastian hukum mengenai ada atau tidaknya hak keperdataan tersebut.
Berkaitan dengan Prejudicial Greshcill ini kembali diperkuat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA RI) Nomor 4 tahun 1980 pada Point 2 mengklasifikasikan Prejudicial Greschill dalam 2 kategori, yakni:
1. Question Prejudicial a I’ Action
Mengenai perbuatan-perbuatan Pidana tertentu yang disebut dalam KUHP, dimana kasus tersebut diputus terlebih dahulu ketentuan Perdata sebelum di pertimbangkan penuntutan Pidana.
2. Question Prejudicial au Jugement
Menyangkut permasalahan dalam Pasal 81 KUHP (penundaan penuntutan pidana berhubung dengan adanya perselisihal pra yudisial), dimana pasal tersebut hanya sekedar memberikan kewenangan bukan kewajiban kepada Hakim dalam pemeriksaan Perkara Pidana untuk menangguhkan pemeriksaan, menunggu Putusan Hakim Perdata mengenai persengketaan
Bertumpu pada Pasal 1 PERMA 1 tahun 1956, yang menentukan bahwa apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus di putuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu Putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara Perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu, akan tetapi prinsip Prejudicial Greschill tidak menghilangkan sifat adanya suatu tindak pidana yang dilakukan.
Prinsip daripada Prijudicial Greshcill ini tidak lepas daripada 3 (tiga) unsur hukum yakni kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan hukum, yang dalam hal ini Prejudicial Greshcill terfokus pada unsur kepastian hukum itu sendiri. Dalam proses penegakan hukum pada dasarnya pengaturan terkait Prejudicial Greschill ini telah di temukan dalam Pasal 81 KUHP yang berbunyi “Penundaan penuntutan Pidana berhubung dengan adanya perselisihan pra yudisial, menunda daluarsa”. Sehingga dalam hal ini memiliki suatu akibat hukum terhadap Laporan atau proses Pidana apabila terdapatnya suatu sengketa terkait ada atau tidaknya unsur keperdataan, akan hal tersebut maka proses pidana harus ditunda menunggu adanya putusan Perdata tersebut. Jika terbukti tidak terdapatnya unsur keperdataan maka proses pidana harus dihentikan dengan SP-3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).
Kesimpulan:
Bertumpu pada hasil olah pikir di atas, maka dapat ditarik simpulan bahwa indikator suatu pemeriksaan perkara pidana dapat ditangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata adalah terkait dengan hubungan antara kontek perkara pidana dengan kontek perkara perdata.
Komentar
Posting Komentar