Implikasi hukum terhadap perjanjian yang dibatalkan secara sepihak
Dalam hukum perdata Indonesia, perjanjian merupakan kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak (asas pacta sunt servanda). Oleh karena itu, pembatalan perjanjian secara sepihak tanpa dasar hukum atau tanpa persetujuan pihak lain dapat menimbulkan akibat hukum serius. Hal ini merupakan suatu konsekuensi terhadap perikatan yang timbul akibat adanya suatu perjanjian kepada para pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut.
Walaupun
dalam praktiknya dalam beberapa perjanjian yang ada kerapkali termuat suatu
klausula terhadap mekanisme pembatalan perjanjian, yang mengacu terhadap
hal-hal yang bersifat tidak terpenuhi suatu prestasi dalam perjanjian tersebut.
Namun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) disamping itu mengatur
pula hal-hal yang dapat membatalkan suatu perjanjian atau dinyatakan batalnya
suatu perjanjian menurut hukum, hal ini sebagaimana terhadap syarat sah nya
suatu perjanjian yang tertera pada Pasal 1320 KUHPerdata. Yang apabila terhadap
unsur subjektif pada suatu perjanjian tidak terpenuhi maka terhadap perjanjian
tersebut dapat dibatalkan, yang mana terhadap perjanjian itu tetap memiliki
kekuatan hukum sampai dinyatakan batal oleh Pengadilan. Berbeda apabila
terhadap suatu perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur objektif maka terhadap
perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum, yang terhadap perjanjian
tersebut dianggap tidak pernah ada serta tidak memiliki kekuatan hukum.
Bahwasannya
terhadap pembatalan suatu perjanjian mengharuskan persetujuan dari para pihak
yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut, hal ini sebagaimana termuat
pada Pasal 1266 KUHPerdata yang terurai berikut ini:
Pasal
1266
Syarat batal dianggap selalu
dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak
tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi
hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.
Lantas bagaimana terhadap perjanjian yang
dibatalkan hanya secara sepihak?
Berdasarkan pada uraian diatas, terhadap suatu
perjanjian yang dibatalkan secara sepihak memiliki suatu konsekuensi hukum yang
fatal. Hal ini pun mengacu terhadap terhadap Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor
4/Yr/Pdt/2018 dalam Putusan Nomor 1051 K/Pdt/2014 . Berdasarkan pada
pertimbangan Majelis Hakim Pemeriksa Perkara terhadap pembatalan secara sepihak
dalam suatu perjanjian menyebutkan, “Bahwa perbuatan Tergugat/Pemohon Kasasi
yang telah membatalkan perjanjian yang dibuatnya dengan Penggugat/Termohon
Kasasi secara sepihak tersebut dikualifisir sebagai Perbuatan Melawan Hukum
karena bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu perjanjian tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak”.
Namun jika dalam perjanjian
terdapat klausul pembatalan sepihak (misalnya karena kegagalan
pembayaran, keterlambatan, atau pelanggaran syarat tertentu), maka pembatalan bisa
sah dilakukan tanpa putusan pengadilan, yang akan hal tersebut harus
tetap dilakukan dengan itikad baik dan pemberitahuan tertulis.
KESIMPULAN:
Pembatalan perjanjian secara
sepihak tanpa dasar hukum atau tanpa persetujuan pihak lain pada dasarnya bertentangan
dengan asas kepastian hukum dan asas pacta sunt servanda, di mana
perjanjian yang sah harus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tindakan tersebut
dapat menimbulkan implikasi hukum berupa:
- Dikualifikasikan sebagai wanprestasi
atau bahkan perbuatan melawan hukum (PMH) apabila menyebabkan
kerugian kepada pihak lain.
- Menimbulkan kewajiban ganti rugi
bagi pihak yang melakukan pembatalan sepihak, baik berupa kerugian nyata (actual
loss) maupun keuntungan yang hilang (loss of profit).
- Pembatalan yang sah hanya dapat dilakukan:
- Berdasarkan klausul pembatalan
yang telah disepakati dalam perjanjian, atau
- Melalui putusan pengadilan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1266 KUH Perdata.
- Dalam hal terdapat klausul pembatalan
sepihak, pelaksanaannya tetap harus dilakukan dengan itikad baik
dan pemberitahuan yang layak kepada pihak lain.
Komentar
Posting Komentar