Perbedaan antara Medeplichtige dan Medeplegen


Dalam fenomena hukum terkhusus dalam hukum pidana, kita mengenal bahwasannya hukum pembuktian dalam hal ini Majelis Hakim Pemeriksa Perkara berupaya mencari kebenaran materiil terhadap suatu perkara. Praktik ini merupakan salah satu penerapan pada asas In Criminalibus Probantiones debent esse luce clariores yang mengartikan bahwa pembuktian dalam hukum pidana harus lebih terang daripada cahaya. Terhadap pembuktian itu sendiri, dikenal alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana yang sebagaimana termuat pada Pasal 184 angka (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni:

Pasal 184

(1)   Alat bukti yang sah ialah:

a.      Keterangan saksi

b.     Keterangan ahli

c.      Surat

d.     Petunjuk

e.      Keterangan terdakwa

 

Untuk itu pembuktian dalam hukum pidana Majelis Hakim Pemeriksa Perkara mengacu terhadap alat bukti yang ada dalam persidangan. Dalam ajaran hukum pidana tentang kejahatan dan tindak pidana, memandang bahwa dalam suatu perbuatan pidana dimunginkannya dilakukan dengan upaya kerjasama antar yang satu dengan yang lainnya. Sehingga dalam konstruksi hukum pidana Hakim Pemeriksa Perkara harus melakukan analisa terhadap setiap instrumennya yang mempunyai hubungan terhadap perkara tersebut.

Untuk itu dalam hukum pidana dikenal terhadap teori kausalitas yang merupakan suatu teori sebab akibat yang menimbulkan suatu tindak pidana atau kejahatan tersebut. Salah satunya adalah teori kausalitas yang dikemukakan oleh Von Buri dalam teori nya yakni Conditio Sine Qua Non atau teoir syarat mutlak, yang mana semua perbuatan yang menjadi syarat terjadinya suatu akibat dianggap sebagai penyebab dari akibat tersebut. Artinya suatu perbuatan dianggap kausal jika tanpa akibat tersebut tidak akan terjadi.

Mengacu terhadap teori kausalitas tersebut memiliki suatu konsekuensi hukum akan adanya suatu penyertaan (Deelneming) terhadap suatu tindak pidana tertentu. Hal ini sebagaimana termuat pada Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam penyertaan pada Pasal 55-Pasal 60 KUHP memuat suatu klasifikasi berdasarkan kapasitas atau peran terhadap subjek pada suatu tindak pidana, untuk itu diklasifikasikan sebagai berikut:

1.      Pelaku (Plegen, dader)

Dalam arti yang sempit merupakan pelaku adalah mereka yang melakukan tindak pidana dan dalam arti luas sebagaimana terhadap pelaku termuat pada Pasal 55 ayat (1) yaitu mereka yang melakukan perbuatan, mereka yang menyuruh melakukan, mereka yang turut serta melakukan dan yang menganjurkan.

2.      Menyuruh melakukan (Doenplegen, medelijke dader)

Dalam hal ini ketika seseorang ingin melakukan suatu tindak pidana, akan tetapi dia tidak melakukannya secara sendiri. Dalam hal ini dia menyuruh seseorang lainnya untuk melakukan tindak pidana tersebut.

3.      Turut serta melakukan (Medeplegen, Mede dader)

Ketika seseorang ikut serta dalam suatu tindak pidana tersebut.

4.      Penganjur (Uitlokker)

Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan beserta akibat-akibatnya.

5.      Pembantuan (Medeplichtige)

Pembantuan dapat terjadi pada saat terjadinya tindak pidana yang sedang dilakukan, selain itu pula pembantuan dapat terjadi sebelum adanya tindak pidana dilakukan. Menurut Roeslan Saleh, pembatuan dibedakan dua macam yaitu:

a.      Pembantuan pada saat melakukan kejahatan

b.     Pembatuan yang mendahului perbuatannya, dengan memberikan kesempatan, sarana atau alat-alat atau suatu keterangan-keterangan.

Apabila mengacu terhadap klasifikasi penyertaan sebagaimana diuraikan diatas, terkadang kita hampir keliru dalam membedakan antara Medeplichtige dengan Medeplegen yang mana hampir memiliki suatu persamaan. Akan tetapi pada faktanya apabila kita analisa lebih dalam terdapatnya perbedaan yang mutlak antara kedua.

Untuk itu apa yang membendakan antara Medeplichtige dengan Medeplegen ?

                Jika ingin menganalisa perbedaan antara Doenplegen dengan Medeplegen, hal tersebut tidak terlepas daripada teori pertanggungjawaban pidana. Dalam hukum pidana dikenal suatu teori Geen Straf Zonder Schuld atau tiada pidana tanpa kesalahan. Terhadap Medeplegen atau turut serta melakukan terdapat beberapa syarat yang dapat dikualifikasi , yakni:

a.      Adanya kerjasama secara sadar dari setiap peserta tanpa perlu adanya kesepakatan, tapi harus ada kesengajaan untuk mencapai hasil berupa tindak pidana

b.     Adanya kerjasama pelaksaan secara fisik untuk melakukan tindak pidana.

Adapun dalam bukunya Wirjono Prodjodikoro menjabarkan bahwa 2 (dua) ukuran yang membedakan antara Medeplichtige dan Medeplegen berdasarkan pada teori subjektivitas, yakni terhadap:

1.      Wujud kesengajaan dari Pelaku

Dalam membedakan kesengajaan pelaku, ada 2 (dua) pembandng yang bisa menjadi acuan. Pertama, pelaku Medeplegen benar-benar berkehendak untuk turut melakukan tindak pidana, sedangkan Medeplichtige hanya berkehendak untuk memberikan bantuan dan Kedua, pelaku Medeplegen benar-benar berkehendak untuk mencapai akibat (unsur tindak pidana), sedangkan Medeplichtige hanya berkehendak untuk membantu jika pelaku utama menghendakinya.

 

2.      Kepentingan dan tujuan Pelaku

Dalam Medeplegen, pelaku memiliki kepentingan atau tujuannya sendiri dalam melakukan suatu tindak pidana, sedangkan Medeplichtige pelaku hanya membantu untuk memenuhi kewajiban atau tujuan pelaku utama tanpa tujuannya sendiri.

 

KESIMPULAN:

Dalam hukum pidana Indonesia, turut serta melakukan dan pembantuan merupakan dua bentuk penyertaan tindak pidana (deelneming). Keduanya memiliki perbedaan mendasar baik dari segi peran pelaku, tingkat keterlibatan, sanksi pidana, maupun unsur-unsur hukumnya.

Berikut perbedaan utamanya:

Aspek

Turut serta melakukan (medeplegen)

Pembantuan (medeplichtigheid)

Dasar hukum

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Pasal 56 KUHP

Peran pelaku

Aktif dan sejajar dengan pelaku utama (melakukan bersama-sama)

Peran membantu, tidak melakukan langsung tindak pidana

Tingkat keterlibatan

Substansial – ikut serta dalam pelaksanaan inti perbuatan pidana

Subordinat – hanya membantu sebelum atau saat tindak pidana dilakukan

Contoh

Dua orang merampok bersama-sama, masing-masing memegang senjata dan mengancam korban

Seseorang memberi informasi atau alat untuk merampok, tapi tidak ikut saat kejadian

Pertanggungjawaban pidana

Sama seperti pelaku utama

Lebih ringan dari pelaku utama

Ancaman pidana

Sama dengan pelaku utama (penuh)

Dapat dikurangi sepertiga dari maksimum pidana pokok (Pasal 57 KUHP)

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hak Retensi; Pengertian dan Mekanisme

KONSEKUENSI HUKUM JIKA MEDIASI TANPA KEHADIRAN PARA PIHAK

KONSEKUENSI HUKUM ATAS MENINGGALNYA TERDAKWA TERHADAP GANTI KERUGIAN KEUANGAN NEGARA YANG DISEBABKAN OLEH TINDAK PIDANA KORUPSI